Selasa, 06 April 2010

berita budaya malu tasa negara jepang

Budaya Pengunduran Diri
Selasa, 6 April 2010 | 01:05 WITA
Dibaca 139 kali
Cetak Artikel
Cetak Artikel
UNTUK menebus rasa malu atau ketidakmampuan dalam menjalani tugas dan kewajiban, bangsa Jepang lebih dikenal sebagai bangsa yang konsekuen. Mereka bukan hanya mengundurkan diri dari jabatannya, melainkan juga membunuh diri (hara kiri).

Oleh: Nurul Himmah


Dengan demikian, apa yang disebut ‘budaya malu’ sudah mendarah daging bagi bangsa Jepang. Malu bukan ditafsirkan tak mau menunjukkan kesalahan diri sendiri. Malu adalah takut berbuat salah dan takut menerima sanksi hukum maupun moral.

Budaya malu tersebut agaknya telah mendunia di tengah (konon) menipisnya rasa malu. Banyak tokoh dan pemimpin di dunia yang mengancam bangsanya untuk mengundurkan diri dari jabatannya bila keinginannya tak diikuti.

Mereka menyatakan, bila kebijakan yang ditempuhnya tidak memperoleh dukungan wakil rakyat bisa menemui kegagalan. Daripada gagal lebih baik sebelumnya mengundurkan diri.

Biasanya jika ultimatum sudah disampaikan, para wakil rakyat pun lantas mengikuti kehendak sang pemimpin. Pertimbangan yang paling utama adalah kepentingan nasional jangka panjang dan kepentingan stabilitas. Lebih dari itu, kehadiran sang pemimpin memang dibutuhkan.

Pemimpin semacam itu biasanya jadi tokoh sentral yang menjadi rujukan tiap konflik intern. Demikianlah yang kita lihat dan saksikan di berbagai belahan dunia Asia seperti Jepang, China, Korea dan Singapura.

Apabila sang pemimpin telah diangkat dan diberikan kepercayaan oleh rakyatnya gagal dalam memimpin atau di tengah perjalanan tersandung skandal korupsi, seks dan telah diketahui rakyatnya, meskipun belum dijadikan status terperiksa dan terdakwa oleh penegak hukum maka pemimpin tersebut dengan kesadarannya mengundurkan diri dari jabatannya, bahkan melakukan bunuh diri sebagai tebusannya.  

Mengapa mereka mengundurkan diri? Malukah mereka andaikata program atau perjuangan mereka patah di tengah jalan? Ataukah sekadar memberi test-case kepada rakyatnya untuk mengetahui tingkat loyalitas rakyatnya, di samping tingkat popularitas yang mereka miliki? Semua itu dilakukan tidak lain didasari atas rasa malu dan tanggung jawab yang besar kepada rakyat dan bangsanya.

Bagaimana praktiknya di negara kita seiring dengan banyaknya pemimpin dan pejabat negara tersandung kasus korupsi dan markus? Budaya semacam itu belum terbiasa bagi bangsa kita. Secara jujur diakui, kita ini masih malu menunjukkan kesalahan diri. Kita justru asyik membuka aib orang lain atau menyebarluaskan kesalahan orang lain dan senang melihat penelanjangan kesalahan orang lain. 

Padahal disadari dalam menjalankan tugas dan kewajiban kita sering melakukan sejumlah kesalahan dan kelalaian, baik tak disengaja maupun disengaja. Bagi yang tidak disengaja, setidaknya ada dua sebab yaitu karena kurang menguasai masalah dan karena kilaf. Bagi yang disengaja melakukan, minimal diberi dorongan keinginan untuk merusak tugas atau hasrat untuk menguntungkan diri sendiri, misalnya korupsi dan manipulasi.

Keduanya, disengaja atau tidak disengaja, jika sering dilakukan bisa mengganggu pekerjaan dan merugikan kepentingan orang lain atau negara. Jika kita sering melakukan kesalahan, berarti  kita memang sudah tidak mampu menjalani pekerjaan itu.

Pertanyaan klasik: bagaimana mengatasinya? Mengapa sudah begitu banyak upaya mengatasi korupsi di Indonesia tidak membuahkan hasil yang optimal? Masalahnya norma dan aturan yang dibuat dalam produk hukum dicurangi. Apalagi mereka yang memiliki uang dengan mudah melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum.

Contoh nyata, kasus Arthalita Suryani - Urip Tri Gunawan. Pembukaan rekaman percakapan pengusaha yang terjerat hukum bisa dengan mudahnya berteman dengan pejabat tinggi dan mengatur kasus hukum.

Begitu juga dengan kasus Gayus H Tambunan sang sutradara makelar kasus seorang PNS Ditjen Pajak golongan IIIA yang bisa memerankan para petingginya dan penegak hukum dalam memanipulasi data pajak. Produk hukum tidak berdaya dengan penyuapan, karena sifat relasi yang begitu kental di dalam masyarakat Indonesia.

Alangkah menyedihkan bila Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan produk hukum dicurangi oleh bawahannya dan memainkan hukum sesuai dengan kolusi pejabat dan pengusaha. Jalan yang terbaik adalah mengundurkan diri dengan kesediaan menerima sanksi baik secara moral maupun hukum sebagai bentuk rasa budaya malu.

Upaya memberantas korupsi jangan hanya dari sudut pandang hukum dan norma yang ada. Harus ada upaya ‘mempermalukan’ koruptor dan menegakkan budaya malu.

Budaya malu dalam pandangan budaya berbicara soal kehormatan diri sebagaimana yang diharapkan dalam masyarakat. Bila kehormatan hilang, maka itu tidak dapat dipulihkan hanya dengan penjara. Itu sebabnya secara positif budaya malu terus dimasyarakatkan, yaitu budaya malu melanggar hukum.

Sayang, budaya malu yang kita miliki lebih kepada kehormatan diri, keluarga dan kerabat, dan bukan malu karena melanggar hukum dan norma. Itu tantangan baru bagi penegak hukum di negara kita soal korupsi.

Hendaknya pemerintah, ulama atau rohaniwan, termasuk iklan TV oleh pemerintah dan media massa harus mempromosikan budaya malu. Jangan hanya mewartakan kisah sukses pemberantasan korupsi saja, tetapi penegakkan hukum yang disertai budaya malu merupakan hal yang penting untuk dimunculkan.

0 komentar:

Posting Komentar